Kamis, 20 Desember 2012
Mencintai selembar foto
Mencintai selembar foto. Mengaguminya
yang tak nyata. Aku tak tau dimana gadis itu. Aku tak tau dimana gadis yang
dulu pernah menemani hatiku. Aku tak tau dimana gadis yang dulu selalu berkuasa
dipikiranku.
“Kamu tau gak kalau aku kangen kamu?”
gumamku menatap selembar foto yang hampir usang.
Tentu saja usang. Sudah sejak lama foto
ini abadi diselipan buku besar milikku. Aku sengaja menaruhnya disitu, agar tak
ada siapapun yang melihatnya. Aku tak ingin ada lelaki lain yang akan
menaruh hati kepada sosok diselembar foto ini. Biarkan aku dan hanya aku yang
mencintainya, sampai detik ini.
“Kamu sayang aku, kan?”
“Kamu masih inget aku, kan?”
“Kenapa kamu pergi secepat kilat?”
Ucapku sendiri dipojok taman.
Sekelilingku nampak ramai, semuanya tertawa. Tapi kenapa mereka semua tak mampu
menarik perhatianku dari sosok yang ada difoto ini.
“Asha, kamu bisa kesini gak? Temani aku,
aku penat sendiri.”
Tak ada jawaban darinya. Aku masih
menunggu sampai aku dengar lagi desis suaranya.
***
“Eh kok lo disini aja? Gak gabung sama yang lain?” sapa teman sekelasku.
“Gak, gue disini aja.”
“Lo tuh misterius banget sih, Lang.”
Aku tersentak.
“Misterius gimana maksud lo, Das?”
“Ya, setiap hari lo selalu sendiri
disini. Terus kadang gue lihat lo ngomong sendiri dan lo terus bawa-bawa foto
itu.” katanya sambil menunjuk ke arah foto Asha.
Aku terdiam. Ternyata banyak juga yang
memperhatikanku.
“Ini?” jawabku sambil memperlihatkan
foto Asha.
“Iya. Foto ini. Ini siapa, Lang?” tanya
Dasta lagi.
Ah haruskah aku menceritakan ini kepada
Dasta? Aku ragu. Tak lama, aku terdiam. Ku tarik nafasku.
“Kenapa, Lang? Gak mau cerita sama gue?
Ya, gak apa-apa sih, mungkin itu privasi lo. Tapi gue sebagai teman, cuma mau
bantu aja, Lang.”
“Ini foto orang yang amat sangat gue
sayangi, Das.” Kataku sambil memandangi senyuman Asha.
“Pacar lo, Lang?”
Aku mengangguk, “ya, ini pacar gue. Dan
sekarang, dia udah gak ada.”
“Gak ada? Dia meninggal?”
“Gak. Dia gak meninggal. Dia masih ada,
Das. Gue bisa rasain dia ada disamping gue.”
Dasta terdiam.
“Gue gak ngerti, Lang. Lo bisa ceritain
lebih detailnya gak? “
“Nanti siang, pulang sekolah, gue
ceritain lebih banyak dari ini.”
“Oke, Lang. Jangan murung sendiri terus
ya.”
***
Di sebuah rumah pohon yang hampir
rapuh...
“Ini tempat apaan, Lang?” tanya Dasta
ketika diajak masuk ke dalam rumah pohon ini.
“Disini pernah ada cerita, Das. Antara
gue sama dia.”
“Dia? Dia siapa, Lang?”
“Asha.”
“Asha? Gadis yang ada di foto ini?”
Aku mengangguk. Lalu menarik sebuah
kursi plastik dan ku duduki.
“Mungkin banyak orang yang menganggap
gue ini aneh. Banyak yang menganggap gue misterius. Padahal sebenarnya nggak,
Das. Gue cuma bingung gimana caranya melampiaskan semua kerinduan gue sama
gadis yang ada di foto-foto itu. Lo tau? Disaat gue bener-bener sayang sama
dia, dia pergi dan gak akan pernah kembali lagi. Itu bikin gue semakin
terpuruk, Das. Gue gak bisa terima kenyataan pahit itu.” Aku mulau bercerita.
“Pergi dan gak akan kembali? Dia
meninggal?” tanya Dasta.
“Kecelakaan itu, Das. Gue seharusnya
pergi sama dia, dan gak disini.” Air mata perlahan menetes.
“Dia udah tenang disana, Lang. Jangan
lo tangisin terus.” Dasta duduk disampingku.
“Dia gak akan tenang, Das. Gue belum
nyusul dia, dia pasti sendirian disana.”
***
Angin perlahan menyapu pekarangan rumah. Matahari perlahan terbenam, hari mulai malam. Dasta izin pulang karena ia sudah tau apa yang sebenarnya aku alami dan hanya Dasta-lah yang pertama kali ku ceritakan tentang Asha. Mungkin aku memang sudah ditakdirkan untuk bertemu seorang sobat seperti Dasta, ia cantik tapi Asha jauh lebih cantik dari Dasta. Aku tak tau kenapa Dasta begitu ingin tau lebih banyak tentangku dan tentang hidupku yang tak terlalu menyenangkan ini. Tapi Dasta bilang, ia kagum denganku yang masih menunggu Asha, walaupun ia tau Asha telah tiada.
Angin perlahan menyapu pekarangan rumah. Matahari perlahan terbenam, hari mulai malam. Dasta izin pulang karena ia sudah tau apa yang sebenarnya aku alami dan hanya Dasta-lah yang pertama kali ku ceritakan tentang Asha. Mungkin aku memang sudah ditakdirkan untuk bertemu seorang sobat seperti Dasta, ia cantik tapi Asha jauh lebih cantik dari Dasta. Aku tak tau kenapa Dasta begitu ingin tau lebih banyak tentangku dan tentang hidupku yang tak terlalu menyenangkan ini. Tapi Dasta bilang, ia kagum denganku yang masih menunggu Asha, walaupun ia tau Asha telah tiada.
Aku masih terdiam disini, seperti
biasa, melampiaskan rinduku pada selembar foto. Ku pandang lagi
senyumannya, aku masih sangat mencintai sosok difoto ini. Andai kecelakaan itu
tak akan pernah terjadi.
“Pelan-pelan bawa mobilnya, Lang.”
Pesan Asha.
“Kalo pelan-pelan, nanti kita gak
kebagian tiket, sayang.” Jawabku lalu memacu lagi laju mobilku.
“Nanti kecelakaan, gimana?”
Aku menoleh ke arah Asha yang duduk
disampingku.
“Gak akan, sayang.” Ku elus rambutnya.
Naas, saat kejadian itu aku tak
memandang lurus ke arah depan. Sebuah mobil truk gandeng menghantam mobilku.
Asha berteriak sejadi-jadinya, aku langsung membanting stir mobil ke arah kiri,
sial aku menabrak sebuah pohon besar.
“Elaaaaaaang...”
Aku sempat dengar teriakan Asha menyebut
namaku. Aku genggam erat tangannya saat hantaman itu terjadi, aku tak
dapat rasakan apa-apa. Kakiku tak mampu ku gerakkan lagi. Aku hanya mampu
melihat kening Asha yang berlumuran darah. Aku lemas, tak mampu lagi dan tak
tau harus melakukan apapun. Aku dan Asha pun tergeletak lemah didalam mobil
yang hampir hancur ini.
Sekumpulan orang datang menghampiri
mobilku. Mereka semua berusaha mengeluarkanku yang tergencet didalam mobil.
Asha berhasil dikeluarkan terlebih dulu, untunglah. 10 menit kemudian, aku
berhasil dikeluarkan. Aku dan Asha dibawa menuju Rumah Sakit terdekat.
“Asha dimana?” teriakanku yang pertama
kali keluar dari mulutku.
“Tenang, Mas. Lebih baik sekarang anda
istirahat dan jangan banyak gerak dulu, supaya lukanya cepat kering.” Seorang
suster berdiri disampingku.
“Pacar saya dimana, Suster?” tanyaku.
“Wanita yang bersama anda? Dia sedang
ditangani tim medis lain di UGD.”
“Dia baik-baik aja, kan, Suster?”
“Berdoalah.”
***
4 hari aku masih terbaring lemah di Rumah Sakit ini. Dan sudah 4 hari pula aku tak melihat Asha, dokter selalu melarangku untuk menemuinya. Aku tak tau kenapa. Ayah dan Bunda selalu datang menemaniku disini, mereka juga melarangku dan selalu mengelak ketika aku menanyakan Asha. Sebenarnya ada sandiwara apa disini? Kenapa mereka seakan-akan menyembunyikan ini?
4 hari aku masih terbaring lemah di Rumah Sakit ini. Dan sudah 4 hari pula aku tak melihat Asha, dokter selalu melarangku untuk menemuinya. Aku tak tau kenapa. Ayah dan Bunda selalu datang menemaniku disini, mereka juga melarangku dan selalu mengelak ketika aku menanyakan Asha. Sebenarnya ada sandiwara apa disini? Kenapa mereka seakan-akan menyembunyikan ini?
“Bunda, dimana Asha? Elang kangen dia.”
“Lebih baik kamu istirahat supaya cepat
sembuh.”
“Asha gak kenapa-kenapa, kan, Bunda?”
Bunda terdiam.
***
Seminggu sudah aku disini dan masih belum bisa menemui Asha. Aku tak mampu menahan rindu lebih lama dari ini. Aku bangkit dari ranjang dan langsung duduk dikursi rodaku, lalu menuju UGD dimana Asha berada. Aku menuju meja receptionist.
Seminggu sudah aku disini dan masih belum bisa menemui Asha. Aku tak mampu menahan rindu lebih lama dari ini. Aku bangkit dari ranjang dan langsung duduk dikursi rodaku, lalu menuju UGD dimana Asha berada. Aku menuju meja receptionist.
“Suster, saya mau tanya dimana pacar
saya berada.”
“Pacar?” suster menaikkan alisnya,
heran.
“Iya, seminggu yang lalu. Saya
mengalami kecelakaan bersama dia. Dan Dokter bilang, pacar saya ada diruang
UGD.”
“Namanya siapa?”
“Asha.” Jawabku singkat.
“Pasien bernama Asha yang mengalami
kecelakaan seminggu yang lalu telah meninggal, Dek.”
Aku tersentak, tak percaya? Tentu.
“Apa, Suster? Meninggal? Gak mungkin,
Suster. Dokter dan Suster yang lain bilang kalau dia masih dirawat disini.”
“Tapi pasien bernama Asha telah
meninggal 3 jam setelah kecelakaan itu, Dek.”
Air mataku rasanya terkuras saat itu
juga. Aku tak sangka semuanya telah membohongiku. Asha telah tiada, dan
semuanya? Semuanya karena ulahku. Tapi aku belum percaya kalau Asha telah
tiada, aku langsung menanyakan semuanya kepada Ayah dan Bunda.
“Ayah, apa benar Asha udah gak ada?
Kenapa gak ada yang kasih tau Elang?”
Ayah dan Bunda terdiam.
“Ayah sama Bunda kenapa diam? Ayah sama
Bunda gak sayang ya sama Elang? Ayah sama Bunda seneng lihat Elang sedih?”
Bunda memelukku.
“Bunda cuma gak mau Elang sedih, lagi
pula Elang harus sembuhin luka dikaki Elang.”
“Tapi ini soal Asha, Bunda. Bukan soal
sakit yang ada di diri Elang.”
***
Siang itu, Ayah dan Bunda mengajakku ke sebuah pemakaman. Aku tau disinilah jasad kekasihku tinggal. Ayah mendorong kursi rodaku, aku masih belum mampu berjalan saat itu, luka dikakiku belum kering.
Siang itu, Ayah dan Bunda mengajakku ke sebuah pemakaman. Aku tau disinilah jasad kekasihku tinggal. Ayah mendorong kursi rodaku, aku masih belum mampu berjalan saat itu, luka dikakiku belum kering.
Ayah berhenti di depan sebuah makam,
bertuliskan “Asharina Wardana” makam ini nampak masih basah, belum terlalu
kering. Aku meminta Ayah untuk menurunkanku dari kursi roda, terdudukku
disamping makam Asha yang nampak mewangi harum bunga kenanga.
Ku usap batu nisannya, ku pandangi
sederet nama itu.
“Asha, maafin aku. Seharusnya kita pergi bersama-sama.” ucapku.
Bunda datang membawa sebotol air
mawar dan serangkaian bunga. Aku menyiram air mawar ini ke atas makam Asha. Ku
taburkan bunga-bunga ini diatasnya. Ku sesalkan dalam hati kenapa kepergiannya
hanya seorang diri? Kenapa aku tak habis dalam kecelakaan itu?
“Tuhan punya rencana lain.” Begitu kata
Bunda yang sampai sekarang masih terngiang ditelingaku.
***
Dasta menghampiriku.
Dasta menghampiriku.
“Gue cemburu sama Asha.” Katanya
mengagetkanku.
“Cemburu? Tapi lo gak kenal dia, Das.”
“Memang. Tapi gue cemburu sama dia,
karena orang yang gue sayang dari dulu ternyata masih sayang banget sama dia.”
“Orang yang lo sayang?”
“Iya, lo, Lang!”
“Lo sayang sama gue?”
“Udah lama. Tapi lo gak pernah sadar.”
Aku terdiam.
“Tapi lo tau, kan? Gue gak akan bisa
sayang sama lo. Gue bener-bener gak bisa buang Asha dari hati gue.”
“Iya, gue tau. Gue juga gak maksa, gue
Cuma mau lo tau aja. Ya, udah gue duluan ya.”
Dasta meninggalkanku.
***
Seperti biasa, dinginnya malam ini menemaniku, bersender rindu untuk Asha. Fotonya masih abadi disini. Tak tau kenapa tiba-tiba terdesis segumpalan suara. Aku mengenali suara itu, ya, itu Asha. Tapi tak ada sosok Asha, aku hanya mampu mendengar suaranya.
Seperti biasa, dinginnya malam ini menemaniku, bersender rindu untuk Asha. Fotonya masih abadi disini. Tak tau kenapa tiba-tiba terdesis segumpalan suara. Aku mengenali suara itu, ya, itu Asha. Tapi tak ada sosok Asha, aku hanya mampu mendengar suaranya.
“Asha, dimana kamu?”
“Lebih baik, kamu terima Dasta. Ia
tulus menyayangi kamu.”
“Gak bisa, Sha. Aku gak bisa sayang
sama dia sementara sayang aku untuk kamu gak pernah hilang. Kamu dimana, Sha?
Tolong duduk disamping aku.”
“Aku akan bahagia sekali kalau kamu
menjadikan ia kekasihmu.”
Aku tak tau kenapa Asha begitu
memaksaku untuk menjadikan Dasta kekasihku. Padahal sayangku untuk Asha belum
luntur.
“Aku mohon, jadikan dia kekasihmu,
Lang.” Suara itu terdengar lagi.
Aku menggeleng lagi.
“Aku sedih melihat kamu terus menerus
menangisiku. Aku tak ingin melihat kamu terus dirundung sedih. Aku yakin, dia
akan berikan kamu kebahagiaan, lebih dari yang aku bisa.”
Perlahan suara itu semakin menghilang,
aku sontak terbangun. Astaga tadi itu mimpi. Aku memimpikan Asha untuk yang
kesekian kalinya. Tapi baru kali ini Asha berbicara seperti itu. Apa
maksudnya?
Aku keluar dari kamarku di rumah pohon
ini dan ada Dasta disana. Ia sedang menyiapkan sarapan untukku. Entah kenapa
aku merasakan ada sosok Asha dalam dirinya. Ia menoleh.
“Udah bangun? Ini udah aku bikinin
sarapan.”
Aku duduk dikursi, sambil menatap wajah
Dasta. Tapi apa yang kulihat? Selintas wajah Asha ada diwajahnya. Aku langsung
memeluknya penuh rindu.
“Aku kangen kamu, Sha. Jangan pergi
lagi, sebentar saja disini.”
Aku tak tau siapa sosok yang ku peluk ini, entah Asha ataupun Dasta. Yang pasti aku merasakan ada senyuman Asha terselip disenyum Dasta.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar